Februari 2010, perut
saya sakit sekali saat hendak berangkat sekolah. Tiba-tiba saya merasakan ingin
buang air kecil, sampai di kamar mandi malah tidak bisa buang air, padahal
rasanya sudah kebelet banget, saya sampai menangis saat itu merasakan hal yang
demikian. Sakit luar biasa saat itu. Akhirnya orang tua pun membawa saya ke
rumah sakit. Dengan keluhan tersebut, tentu saya langsung dibawa ke UGD.
Tadinya saya berpikir bahwa maag saya hanya kambuh. Ya memang belakangan pada
saat itu maag saya sudah akut, obat warung tidak lagi mempan. Kalau maag sudah
kambuh, pasti UGD, karena sakitnya luar biasa. Entah UGD puskesmas ataupun
rumah sakit. Tapi kali ini rasa sakitnya berbeda. Akhirnya saya mendapatkan
penanganan dan kondisi saya berangsur membaik. Rasa sakit mulai hilang.
Tidak berapa lama,
dokter jaga saat itu memberikan arahan untuk diambil sampel urinnya. Katanya
hendak diperiksa adanya kemungkinan batu ginjal yang menyebabkan saya sulit
buang air kecil pagi itu. Saya pun bingung, bagaimana cara mengambil sampelnya,
kan tadi kencing aja gabisa keluar. Akhirnya saya diantar ke toilet, dan saya
terkejut ternyata dengan mudahnya saya buang air kecil, normal seperti biasa. Setelah
selesai hasil pemeriksaan ternyata tidak ditemukan adanya batu. Saya sedikit
lega saat itu. Tapi entah kenapa dokter tetap menganjurkan saya untuk rawat
inap, memang perut saya masih berasa tidak enak. Kami hanya menurut saja,
karena memang dokter lah yang mungkin lebih tahu baiknya seperti apa.
Rawat inap bukanlah sesuatu hal yang baru bagi saya yang saat itu sudah kelas 11 SMA. Terhitung mungkin sudah belasan kali saya keluar masuk rawat inap. Paling banyak terjadi menjelang ujian akhir semester dan tahun ajaran baru. Stres kayaknya. Saya memang sedikit lambat beradaptasi di sekolah. Polanya nilai saya di semester ganjil pasti menurun. Dulu kalau masuk rumah sakit, orang-orang terdekat saya pasti becandanya “biasa, dia sakit karena bosen dirumah, mau nginep tidur diluar”. Senyumin aja kalau sudah begitu.
Rawat inap bukanlah sesuatu hal yang baru bagi saya yang saat itu sudah kelas 11 SMA. Terhitung mungkin sudah belasan kali saya keluar masuk rawat inap. Paling banyak terjadi menjelang ujian akhir semester dan tahun ajaran baru. Stres kayaknya. Saya memang sedikit lambat beradaptasi di sekolah. Polanya nilai saya di semester ganjil pasti menurun. Dulu kalau masuk rumah sakit, orang-orang terdekat saya pasti becandanya “biasa, dia sakit karena bosen dirumah, mau nginep tidur diluar”. Senyumin aja kalau sudah begitu.
Sampailah saya di ruang
perawatan, 1 kamar isi 4 ranjang, namun waktu itu hanya diisi 2 pasien saja
termasuk saya. Saya ingat betul waktu itu sekitar dzuhur. Awalnya tidak ada
keanehan terhadap kondisi tubuh saya. Sampai di sore hari tiba-tiba saya merasa
mules ingin BAB. Ternyata (maaf) mencret. Sekali, dua kali, tiga kali dan masih
berlangsung sampai malam harinya saya belasan kali bolak-balik kamar mandi.
Sampai akhirnya (maaf) yang keluar itu bukan kotoran lagi, tapi air bening,
seperti air bening biasa. Dan parahnya lagi, masih di malam yang sama, terjadi
“keran dol” atau tidak dapat ditahan lagi. Ya jadi keluar aja gitu. Tapi
hanya air, bening dan tidak berbau. Mulai aneh disini memang. Sampai saya harus
memakai popok untuk orang dewasa. Akhirnya keluarga memanggil perawat, saya
diberi obat (mungkin dia konsul ke dokter). Akhirnya keran tidak lagi bocor.
Saya tidak lagi buang-buang air.
Beberapa waktu berlalu,
tidak lama, hanya hitungan jam, masih dimalam yang sama saya menjadi sulit
tidur dan gelisah. Dan tanpa sadar perut saya menjadi keras sekali, kayak
papan, tidak bisa ditekan-tekan. Itu terjadi sampai menjelang pagi dihari
kedua. Pagi harinya ada kunjungan dokter, setelah diceritakan apa yang terjadi
malam itu, dokter memerintahkan untuk berhenti mengonsumsi obat anti “keran
dol” itu. Tidak berlangsung lama saya kembali buang-buang air. Begitu saja
terus sepanjang hari, perawat juga bingung. Kalo berbicara apa yang dirasa,
sebenarnya saya tidak merasa apa-apa, biasa saja, tidak ada sakit atau apapun.
Diagnosis awalnya saat itu dibilang tifus perut. Kami memang awam, tapi setahu
keluarga saya kalau tifus itu ga begitu gejalanya (iya gak sih ?). Kami Cuma
bisa bersabar menunggu perkembangan kesehatan saya.
Memasuki hari ketiga,
kebetulan sekali dokter kunjungan pada hari itu adalah dokter penyakit dalam
yang terbaik di rumah sakit tersebut (info ini sudah menjadi rahasia umum).
Orang tua saya bercerita tentang gejala yang saya alami selama 3 hari ini.
Bahkan Ibu saya sampai menangis “dok, ini sudah 3 hari begini dok, sebenernya
anak saya ini sakit apa ? kasian gabisa tidur, gelisah terus, lemas” saya
ingat betul kalimat ini. Akhirnya dokter memeriksa kondisi saya, terutama pada
perut yang sedang bermasalah ini. Tidak butuh waktu lebih dari 5 menit, dokter
tersebut langsung mengatakan ini harus dirujuk ke dokter bedah saat itu juga.
Sontak kami sekeluarga kaget, kok tau tau bedah. Tidak lama berselang datanglah
dokter bedahnya, dan dokter tersebut bilang begini kira-kira “Ini sudah 3
hari kenapa baru panggil saya ? ini sudah parah ini, saya gatau sakit apa tapi
ada sesuatu itu di perutnya. Ini harus segera operasi. Nanti tolong ini rontgen
dulu, paru dan abdomen 3 posisi, minta di Cito.” Buat yang belum
tahu, Cito adalah istilah dalam dunia kedokteran yang digunakan untuk
merujuk tindakan yang segera dilakukan karena dalam keadaan darurat (Sumber
: belajarbahasa.id). Sebenarnya dokter juga memerintahkan saya untuk
menjalankan beberapa tes sebelum operasi. Kemudian dokter kembali berkata
“Nanti tolong kabari saya, pokoknya hasil rontgen dan tesnya keluar jam
berapapun kontak saya, mau tengah malem atau kapan pokoknya harus operasi”.
Tidak berapa lama dokter pun keluar, dan saya segera dipersiapkan untuk
menjalani serangkaian tes yang diminta tadi. (Bersambung..)
Belum ada tanggapan untuk "My First Experience with Surgery (Part 1)"
Posting Komentar