Selama 5 hari saya
dirawat di ruang HCU (High Care Unit), tidak diperbolehkan makan dan
minum selama 5 hari tersebut. Sampai bibir saya ini kering sekali seperti tanah
tandus. Hanya mengandalkan cairan infus sehingga saya tidak merasa lapar. Untuk
mandi, dilakukan di tempat tidur dengan dibantu suster. Ya hanya mandi ala
kadarnya aja sih, lebih cuma di lap lap aja. Deg-degan tiap mau dimandiin
suster, tapi saya yakin mereka hanya profesional menjalankan tugas. Membosankan
sekali berada diruang HCU, tidak ada teman ngobrol karena tidak diizinkan untuk
ditunggu (padahal gabisa banyak ngomong juga sih, kalau ketawa malah sakit perutnya).
Untungnya diperbolehkan untuk memegang HP, jadi masih bisa ngobrol secara
tekstual lah. Hanya bisa bertemu orang lain saat jam kunjungan aja, siang dan
sore selama 1 jam. Orang-orang terdekat yang datang ya hanya bisa bantu doa dan
support. Tapi saya senang dikunjungi, memberikan saya semangat lebih untuk
sembuh. Akhirnya pada hari kelima saya berhasil buang angin, artinya perut saya
kembali bekerja dan saya diperbolehkan makan dan minum tapi dengan jumlah yang
terbatas (biar gak kaget kayaknya). Padahal tidak dibatasi pun juga makannya
sedikit, mulut terasa tidak enak, lemas, pusing, tidak nafsu makan.
Setelah kondisinya
stabil dan membaik, pada hari keenam saya dipindahkan kembali ke ruang
perawatan biasa. Sebelum dipindahkan, peralatannya dilepasin semua. Nah pas mau
cabut-cabutin selang itu sedikit takut juga, karena pas dipasang lumayan
“berasa”. Tapi ternyata aman, malah rasanya geli-geli ngilu gitu hehe. Ternyata
saya masih menempati lapak yang sama seperti sebelum operasi. Tapi penghuninya
sudah berbeda, saya menjadi pasien paling lama disitu, tapi dikiranya saya
pasien baru masuk. Alhamdulillah semakin hari kondisi saya semakin baik. Tapi
saya tidak pernah beranjak dari tempat tidur. Pada hari-hari terakhir saya
mendapatkan perawatan saya mencoba untuk duduk bersandar. Sulit sekali
ternyata, tidak mampu bertahan lebih dari 1 menit, pusing sekali. Terhitung
total sekitar 13 hari saya rawat inap di rumah sakit, dan akhirnya saya bisa
pulang.
Kondisi yang belum pulih
menyebabkan saya masih harus melanjutkan istirahat dirumah. Berat badan saya
turun drastis, menjadi 45kg dengan tinggi sekitar 175cm. Kebayang ? Saya memang
sebelumnya kurus, tapi tidak separah itu. Bahkan sampai saya akhirnya masuk
sekolah pun semuanya longgar banget. Seperti mayat hidup berjalan. Waktu itu
saya mengakhiri masa istirahat saya dirumah karena memasuki masa UTS. Dengan
bantuan teman-teman saya bisa sedikit mengikuti kegiatan di sekolah. Untuk
berjalan saya masih harus dibantu teman saya, untuk pulang pun harus diantar.
Keluarga saya mempercayakan salah seorang sahabat saya untuk mengantar saya
pulang, sudah dipesan kalau lewat poldur harus pelan-pelan banget. Bekas
jahitan di perut saya ini masih sangat terasa mengganjal. Saya diberi toleransi
untuk tidak mengikuti pelajaran olahraga, namun saya tetap hadir di pinggir
lapangan. Sedih sekali melihat teman-teman dapat dengan lincahnya berlarian
berolahraga sedangkan saya untuk berjalan pun sulit. Waktu itu saya sedang
gemar-gemarnya main badminton. Tapi dengan kejadian itu saya terpaksa berhenti
untuk beraktivitas fisik yang berat selama kurang lebih 7 bulan.
Bolos 19 Hari Sekolah (Berarti Sebulan) |
Pengalaman ini sangat
berharga buat saya. Dari kejadian ini saya merasa sangat bersykur masih
diberikan nikmat sehat tanpa kurang sesuatu apapun hingga saat ini. Saya banyak
belajar dari kejadian ini. Ternyata sehat itu memang rezeki yang luar biasa.
Alhamdulillah sejak saat itu maag saya sudah jarang sekali kambuh, bahkan
hampir tidak pernah. Kalaupun kambuh dapat diatasi dengan mudah, tidak seperti
dahulu. Satu lagi pelajaran yang dapat saya ambil. Jangan anggap remeh rasa
sakit. Betul bahwa sakit itu harus dilawan, tapi bukan dengan memaksakan juga. Berobat
ke dokter menjadi salah satu pilihan yang sangat baik.
Bogor, 30 Juli 2018
Belum ada tanggapan untuk "My First Experience with Surgery (Part 3)"
Posting Komentar