#top-social-profiles{height:42px;text-align:right}#top-social-profiles img{margin:0 6px 0 0px !important} #top-social-profiles img:hover{opacity:0.8} #top-social-profiles .widget-container{background:none;padding:0;border:0} .social-profiles-widget img{margin:0 6px 0 0} .social-profiles-widget img:hover{opacity:0.8}

My First Experience with Surgery (Part 2)


Serangkaian tes dan rontgennya pun akhirnya telah dilakukan. Hasilnya keluar sekitar jam 2 siang itu. Mungkin perawat langsung mengabarkan dokter bedah tadi bahwa hasilnya sudah keluar. Tidak berselang lama saya langsung dipersiapkan untuk operasi. Saya diminta untuk berpuasa, dan dimasukan beberapa selang kedalam tubuh saya. Satu selang dimasukan lewat hidung (dalem banget ini, sampai ke perut atau paru, gatau deh nyambung kemana), selang lainnya dimasukan melalui (maaf) kemaluan. Menjelang Maghrib saya dikabarkan bahwa akan menjalankan operasi sekitar pukul 00.00 WIB. Tidak banyak yang dapat saya lakukan saat itu, hanya diam dan pasrah. Gatau kenapa malam itu rasanya saya tenang sekali, senyum terus namun hanya diam, padahal keluarga dan orang-orang terdekat yang malam itu hadir sudah sangat khawatir. Tidak ada yang saya pikirkan saat itu, saya hanya percaya bahwa dokter dan perawat disini profesional.
Sekitar jam 11 malam saya mulai dipindahkan ke ruang operasi. Sampai disana, dokter bedah telah menunggu dan segera melakukan pemeriksaan singkat. Sebelum memasuki kamar operasi, dokter menjelaskan beberapa hal termasuk meminta persetujuan untuk dilakukan operasi. Pada malam itu kondisinya dokter masih belum bisa menemukan dimana letak permasalahan perut saya. Setidaknya ada 3 kemungkinan yang dijelaskan. Entah di usus halusnya atau usus besarnya, dan yang paling ringan adalah usus buntu. Membayangkan kalau yang kena adalah usus halus atau usus besarnya sangat menakutkan, mesti dipotong dan disambung lah, dilubangi sementara di perut samping untuk BAB lah. Tapi saya tetap tenang, walaupun orangtua saya terlihat sangat sedih. Setelah mendapatkan penjelasan tersebut, orangtua saya membisikan sesuatu, berusaha menguatkan saya untuk tetap sabar dan tenang. Akhirnya didoronglah saya masuk ke kamar operasi.
Ini kali pertama saya masuk ke kamar operasi, kesan pertamanya adalah “dingin banget”. Perawat memindahkan saya dari ranjang ke meja operasi. Berbagai persiapan pun dilakukan. Ada perawat yang sekedar menyapa dan mengajak mengobrol ringan, sedangkan beberapa perawat lainnya berbincang hal lain. Tidak beberapa lama cairan bius total pun dimasukan melalui selang infus saya. Itulah hal terakhir yang saya ingat di tengah malam itu. Tiba-tiba saya tersadar sudah berada diruang lain dengan kondisi sulit bergerak. “Ini ko kayak ada yang ganjel, perutnya ada apaan ya ini, eh ko ini ada selang masuk lewat perut sih” Pikirku dalam hati. Akhirnya saya benar-benar tersadar dari pengaruh obat bius. Berarti saat itu ada 3 selang dimasukan kedalam tubuh, melalui hidung, (maaf) kemaluan, dan perut yang dilubangi. Saya mengetahui kegunaan selang-selang tersebut beberapa jam kemudian. Intinya semua untuk membuang kotoran. Oia ada juga selang oksigen (saya ga betah pake ini). Selain itu juga tubuh saya “ditempelin” alat yang mungkin pendeteksi detak jantung. Entahlah apa itu, saya ingat ada 3 buah, dada kiri, kanan, dan dekat perut. Jempol saya pun dijepit suatu alat mirip jepitan jemuran yang saya tidak tahu apa fungsinya (ternyata ini pulse oximeter namanya). Pokoknya banyak hal pertama kali untuk saya pada saat itu.
Pasca Operasi
Keluarga saya pun menghampiri dan mengatakan operasinya berjalan lancar, ternyata usus buntu saya yang kena, sudah pecah. Istilah awamnya akhirnya perut saya dicuci bersih karena racun yang menyebar dari usus buntu sudah kemana-mana. Untungnya masih bisa diselamatkan. Katanya sih jarang bisa “selamat” jika kondisinya sudah demikian, hal ini saya ketahui beberapa hari setelahnya hasil baca artikel dan cerita pengalaman orang lain. Tentu saya berpikir, “kenapa kalau cuma usus buntu bisa ga ketauan dari awal”. Memang gejala usus buntu tidak banyak ditemukan pada diri saya waktu itu. Sebagai contoh, biasanya orang yang kena usus buntu itu ketika kaki dilekuk pasti sakit luar biasa, kemudian pasien akan sulit berjalan. Nah saya tidak merasakan hal tersebut. Terus hasil dari rontgen abdomen saya juga tidak ditemukan kalau masalahnya terdapat di usus buntu, katanya sih letak usus buntu saya tidak wajar, jadi tidak terlihat. Akhirnya dokter terpaksa melakukan bedah besar pada perut saya untuk melihat secara keseluruhan. Total  membentang 19 jahitan menjalar panjang dari bawah ulu hati kearah bawah. Bekasnya tidak hilang sampai saat ini, dan menjadi motivasi tersendiri untuk saya setiap melihat bekas luka tersebut.
Ada cerita lain yang saya tidak ketahui selama operasi berlangsung. Ternyata saya sempat tersadar, berteriak dan meronta kayak ngamuk saat operasi masih berlangsung (tapi udah mau selesai sih). Lalu dokter memanggil beberapa orang dari keluarga saya untuk membantu memegangi tubuh saya untuk diberikan bius tambahan. Saya ditanya, apakah saat itu saya sadar atau tidak. Tapi saya sama sekali tidak mengetahui hal tersebut, saya hanya ingat setelah diberikan bius kemudian bangun-bangun udah diruangan lain. Kurang lebih selama 3 jam saya menjalankan operasi. Saya ingatnya saat sadar itu sekitar subuh. Intinya alhamdulillah saya masih diberikan kehidupan. 

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "My First Experience with Surgery (Part 2)"

Posting Komentar