#top-social-profiles{height:42px;text-align:right}#top-social-profiles img{margin:0 6px 0 0px !important} #top-social-profiles img:hover{opacity:0.8} #top-social-profiles .widget-container{background:none;padding:0;border:0} .social-profiles-widget img{margin:0 6px 0 0} .social-profiles-widget img:hover{opacity:0.8}

Pengen Mudik



Sebelumnya saya mau mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1439 H, Taqobbalallahu Minna wa Minkum, mohon maaf lahir dan batin. Hari ini merupakan H+3 Lebaran, semakin mendekati penghujung rangkaian cuti bersama yang ditetapkan bagi pegawai pemerintahan seperti saya. Seperti biasa, di musim lebaran seperti ini, mudik menjadi salah satu ritual bagi kebanyakan masyarakat di Indonesia khususnya yang tinggal di kota-kota besar. Nah tapi, dari sekian banyak masyarakat yang mudik, banyak juga yang tidak bisa merasakan mudik, entah karena pekerjaan maupun hal lainnya. Saya sangat mengapresiasi pada mereka yang rela tidak mudik untuk bertugas mengamankan, membantu kelancaran, dan mengantar para pemudik selamat sampai tempat tujuannya. Saya termasuk orang yang tidak bisa merasakan mudik lebaran, bukan karena pekerjaan, tapi karena memang tidak punya kampung halaman.
Sebenarnya saya masih bingung jika ditanya soal kampung halaman, ini merujuk ke tempat lahirnya siapa ? saya sendiri ? orang tua ? kakek nenek ? atau siapa ? Kalau dari kamus yang saya baca sih kampung halaman merujuk pada daerah tempat kelahiran kita. Kalau memang begitu berarti saya ini memang tidak punya kampung halaman. Kedua orang tua saya lahir dan besar di Jakarta. Nah kalau kakek nenek asli Jawa Tengah, baik yang dari Bapak maupun Ibu. Sayangnya mereka semua sudah meninggal, sebelum meninggal pun juga sudah lama berpindah ke Jakarta. Jadi disaat orang-orang pulang kampung, saya malah pulang kota. Sanak saudara tidak ada yang tinggal jauh dari ibukota, kecuali ada om saya yang kemarin datang dari Bali (inipun kebetulan urusan pekerjaan). Setiap tahun ya gini-gini aja lebarannya, hanya berkeliling sekitaran Jabodetabek. Tapi biasanya keluarga saya ke Cianjur untuk mengunjungi guru ngaji kami. Lumayan lah mirip-mirip mudik, perjalanan sekitar 6 jam. Tahun ini kami tidak kesana karena kondisi Ibu saya yang tidak memungkinkan, guru ngajinya juga tidak mudik sih.
Kapan lagi nikmatin jalanan Jakarta yang gak macet ?” “Enak dong gak perlu capek-capek begadang rebutan tiket mudik” “Enak dong gak perlu capek bermacet-macetan ria dijalan karena ga mudik”. Ini beberapa anggapan yang paling banyak muncul bagi warga ibukota dan sekitarnya yang tidak mudik. Sesekali saya pun sebenarnya pengen ngerasain mudik, ikut-ikutan perang rebutan tiket kereta, berburu tiket-tiket murah dari jauh-jauh hari, ikut meramaikan kemacetan arus mudik dan balik, ikut ribet packing buat mudik hahaha. Saya sebenarnya pernah ke kampung halaman kakek nenek di Jawa Tengah, dulu, saat masih kecil, itupun karena mendapat kabar duka. Bahkan saya tidak dapat mengingat dimana tepatnya kampung halaman mereka. Hanya tau nama daerah besarnya saja.
Kalau saya punya kesempatan mudik ke kampung halaman kakek nenek di Jawa Tengah, sebagai seorang railfans karbitan saya akan memilih naik kereta api. Sepertinya akan lebih enak dibanding membawa kendaraan pribadi karena tidak perlu capek nyetir, keluar biaya bensin, biaya tol, menghadapi kemungkinan macet dan sebagainya lah, itu menurut saya. Tapi sayangnya, orang tua saya pasti ga nurut (yayalah masa orang tua yang nurut ke anak). Memang dasarnya senang naik kereta kemana-mana jadi kalau pergi ke suatu tempat yang masih bisa dijangkau kereta ya mending naik kereta, perjalanan di siang hari menjadi nilai tambah tersendiri. Urusan kendaraan di daerah tujuan ya urusan nanti hehe. Tapi mudik lewat aspal juga sekarang kayaknya enak, pemerintah terlihat cukup serius membenahi infrastruktur jalan untuk memperlancar arus barang maupun orang. Ya terlepas dari cerita dibalik bagaimana jalan itu semua bisa dibangun.
Sepertinya enak mudik ke kampung halaman lebaran gini, kumpul sama keluarga besar dan teman masa kecil yang entah sudah berapa lama tidak bertemu. Menikmati suasana yang berbeda dari kehidupan perkotaan yang “alhamdulillah,luar biasa”. Terlepas dari bagaimana perjuangan para pemudik untuk dapat sampai ke kampung halamannya, pastinya ada kepuasan dan kebahagiaan yang belum bisa dirasakan orang-orang yang tidak mudik. Sekarang sih saya juga bisa menikmati suasana kampung halaman, iya kampung halaman orang, dari updatean medsos. Saya mengidamkan kampung halaman yang masih adem, jauh dari kebisingan, asri, hijau dimana-mana (bukan merujuk partai) dan sapaan hangat penduduk disana. Bahagia banget deh ya pasti, sejenak melepas kepenatan dari ibukota dengan bermalam di kampung halaman, berburu makanan khas daerah, dan berpetualang ke tempat wisata keren. Tapi bukan berarti orang yang gak mudik gak bahagia juga loh, ya mereka termasuk saya juga tetep kumpul sama keluarga besar, ketemu teman lama dan semacamnya, tapi tetep beda. Mungkin karena suasananya sama aja dan kegiatan itu bisa kapan aja dilakuin, kan deket, masih disitu-situ juga rumahnya. Tetap bersyukur aja deh bagaimanapun kondisinya. Mungkin lebaran tahun-tahun berikutnya saya bisa mudik, ya mudik ke kampung orang.



Bekasi, 18 Juni 2018

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Pengen Mudik"

Posting Komentar